SEJARAH
SOSIAL DAN ILMU-ILMU SOSIAL
SEJARAH
SOSIAL DAN ILMU-ILMU SOSIAL
1.
Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Sejarah sebagai ilmu, termasuk
salah satu ilmu-ilmu sosial karena fokus kajiannya juga
menyangkut manusia, sebagaimana kajian dari ilmu sosial lainnya
seperti sosiologi, antropologi, politik, dan ekonomi. Namun cara pendekatannya
mempunyai perbedaan dengan ilmu sosial lain. Sejarah lebih menitikberatkan pada
perkembangan aktivitas manusia pada masa lampau. Bahkan Karl R. Popper dengan
tegas mengatakan ilmu sosial adalah. Ilmu-ilmu sosial pun menggunakan
pendekatan historis untuk dapat mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan serta
pola-pola umum sebelum melakukan ramalan-ramalan (prediksi) masa yang akan
datang (Sartono Kartodirdjo, 1992:209).
1.1
Perbedaan Sejarah dengan Ilmu-ilmu Sosial lain
Adapun hal-hal yang membedakan
antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lain yaitu:
- Faktor waktu.
- Pendekatan atau
persfektif.
1.2
Perbedaan Berdasarkan Faktor Waktu dan Tempat
Sejarah mempunyai kedudukan
unik didalam rumpun ilmu-ilmu sosial. Meskipun sejarah termasuk sebagai salah
satu dari ilmu-ilmu sosial, namun antara sejarah dan imu-ilmu sosial lainnya
masih dapat dibedakan. Kajian sejarah terikat pada aspek temporal (waktu)
terutama pada masa lampau (past). Faktor waktu ini menjadi pembeda
antara sejarah dengan ilmu sosial lainnya, sehingga sering dikatakan bahwa
sejarah adalah kajian yang berkaitan dengan manusia dan masyarakatnya pada masa
lampau. Sedangkan ilmu-ilmu sosial mengkaji tentang manusia atau masyarakat
manusia pada masa sekarang (present). Seringkali kajian dari ilmu-ilmu
sosial itu digunakan untuk kepentingan masa yang akan datang atau untuk
meramalkan (memprediksikan) kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi
pada masa-masa yang akan datang (future).
Selain
faktor waktu di kajian, sejarah juga terikat pada tempat (spasial)
tertentu. Suatu peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan manusia atau
masyarakat manusia pasti terjadi di suatu temapat tertentu. Kajian ilmu-ilmu
sosial bukanlah tidak memperhatikan masa lampau tertentu, tetapi aspek
kelampauan dan tempat khusus ini tidak terlalu dihiraukan.
1.3
Perbedaan Berdasarkan Pendekatan atau Persfektif
Selanjutnya antara sejarah dan
ilmu-ilmu sosial lainnya berbeda dalam pendekatan atau persfektif. Jika sejarah
menggunakan pendekatan diakronik, maka ilmu-ilmu sosial menggunakan pendekatan
sinkronik. Kajian sejarah meskipun tidak identik dengan kronik, tetapi
kronologi (urutan waktu) dari kejadian-kejadian kedudukannya sangatlah penting.
Fenomena sejarah yang hendak ditandai secara utuh memerlukan suatu pendekatan
diakronik. Sebaliknya ilmu-ilmu sosial mencoba melihat fenomena
peristiwa-peristiwa yang hampir sama pada tempat-tempat berbeda atau pada waktu
yang berbeda-berbeda sehingga kelihatannya sebagai garis mendatar atau
horizontal. Dengan saling ketergantungan fungsi unsur-unsur sehingga fenomena
sebagai suatu kesatuan dapat ditandai dengan tepat.
1.4
Contoh Perbedaan Berdasarkan Pendekatan atau Persfektif
Salah
satu contoh tentang aspek diakronik dan sinkronik, dapat
dilihat pada perbandingan beberapa revolusi yang pernah terjadi di
dunia. Revolusi Amerika (1776), Perancis (1789), Rusia (1917) dan Indonesia
(1945). Dalam membahasa Revolusi itu sejarah akan melihat perbedaan antara
keempat revolusi tersebut. Perbedaan itu bukan saja menyangkut aspek waktu dan
tempat melainkan juga sebab musabab dan para pelakunya. Oleh sebab itu sejarah
akan mempelajari secara individual setiap revolusi itu. Tinjauan sejarah akan
mengkaji tentang masa-masa sebelum revolusi itu. Jadi sejarah melihat asal mula
(genesis) dari revolusi ke masa-masa sebelumnya serta perkembangan selanjutnya
dari masing-masing revolusi itu. Di Amerika ada konflik kepentingan antara
pemahaman para kolonis yang ingin melepaskan diri dan merdeka dan merdeka
dengan negeri induknya (Inggris) yang tetap ingin mempertahankan koloninya; di
Perancis terjadi konflik kepentingan antara rezim lama yang absolut dengan
golongan kelas menengah yang ingin berkuasa secara politis; dan Indonesia ada
konflik antara kolonialis Belanda yang ingin kembali menjajah dengan bangsa
Indonesia yang baru merdeka dan ingin tetap mempertahankannya. Jadi fenomena
konflik yang lebih mendalam menjadi kepedulian utama daripada sejarah asal-usul
timbulnya revolusi. Adapun data sejarah dari masing-masing negara yang
dipergunakan oleh ilmu-ilmu sosial adalah sekedar alat untuk memperkuat
argumentasi bagi generalisasi atau hukum yang ingin ditariknya.
Ilmu-ilmu
sosial akan mencoba membahas persamaan dari semua revolusi itu
tanpa terlalu memperhatikan perbedaan wakyu dan tempat-tempat terjadinya
revolusi itu. Ilmu politik misalnya akan mengkaji fenomena atau proses politik
atau sosial yang sama seperti revolusi atau perang kemerdekaan yang terjadi
dimana saja atau kapan saja di muka bumi ini jika situasi atau kondisinya
serupa dengan di Amerika, Perancis, Rusia ataupun Indonesia. Ilmu sosial
melihat pada perbedaan waktu dan tempat, melainkan pada persamaan adanya
situasi dan kondisi konflik kepentingan yang menyebabkan timbulnya revolusi
itu.
Pengkajian
sejarah lebih menekankan pada kekhasan atau kekhususan dari
masing-masing revolusi atau perang kemerdekaan. Revolusi Amerika misalnya
dikaji lebih mendalam mengenai sebab musabab serta perkembangan revolusi
sehingga tampak kekhasannya jika dibandingkan dengan revolusi di negara lain.
Oleh karena itu sejarah disebut juga sebagai kajian ideografik atau
partikuristik, kekhasan. Menurut Ankersmith (1984: 251-252) Sejarah melukiskan
dan menafsirkan suatu peristiwa yang hanya satu kali terjadi. Sebaliknya
kajian-kajian ilmu-ilmu sosial akan menekankan pada fenomena-fenomena yang sama
di semua negara sehingga dapat ditarik suatu generalisasi yang dapat berlaku
umum. Oleh karena itu kajian-kajian ilmu-ilmu sosial mencoba mencari
hukum-hukum yang berlaku secara umum, sehingga jika misalnya ada gejala –gejala
konflik politik atau sosial yang terjadi dalam suatu negara atau masyarakat
maka dapat diramalkan akan terjadi suatu revolusi atau perang.
2.
Sejarah Sosial dan Sosiologi Sejarah
Pembahasan mengenai sejarah
sosial seperti halnya mengurai benang kusut. Bagiamna memilah benang dengan
warna yang hampir sama dan bagaimana mencermati benda yang serupa tetapi tidak
sama. Boleh dikatakan bahwa sejarah sosial seperti disebut di atas, mengandung
dua dimensi ilmu pengetahuan, yaitu sejarah dan sosiologi. Katakanlah seperti
saudara kembar, sejarah dan sosiologi mempunyai ciri khasnya sendiri-sendiri.
Dalam
perkembangan pengetahuan sejarah dan sosiologi berdiri sendiri-sendiri dan
tidak saling menyapa, bahkan para pendukungnya pun dengan angkuh dan sombong
memuji kehebatan ilmunya masing-masing. Rupanya kesombongan itu terbentur pada
kenyataan bahwa ilmu pengetahuan seperi halnya kebutuhan sosial masyarakat yang
memerlukan bantuan ilmu lain. Disini juga berlaku ungkapan yang berbunyi “Bersatu
kita teguh bercerai kita jatuh”.
Untuk
menjelaskan ciri khas masing-masing ilmu sudah selaykanya harus saling kenal,
menyapa dan tahu identitasnya guna menghasilkan cita-cita bersama yaitu
mengungkapkan kondisi sejarah obyektif. Perlu diketahui bahwa kedudukan ilmu
sejarah sendiri mengalami perubahan. Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan
ilmu di tanah air ditanmkan oleh pemerintah Belanda yabg sudah tahu membawa
aspirasi keilmuannya dengan menggolongkan ilmu sejarah ilmu humaniora, khususnya
dalam filologi. Dalam perkembangan muktahir setelah AS menjadi pusat
perkembangan ilmu sosial maka ilmu sejarah ditarik dan dikelompokkan dalam
ilmu-ilmu sosial, tentu saja hal ini ada agen-agenya, baik secara obyektif
sesuai dengan perkembangan dan kekuatan ilmu sosial dan juga lewat alumni yang
kemudian memegang posisi dalam pemerintahan dan mempunyai otoritas menentukan.
Baik
sejarah maupun sosiologi ada di bawah payung ilmu sosial dan humaniora dan
keduanya mempunyai mempunyai tujuan lukisan setiap kejadian secara rinci dan
unik. Perbedaannya, sejarah memilki sifat unik menuju spesifik sedangkan
sosiologi bersifat umum menuju generalisasi. Sejarah melihat gejala lewat
proses sedangkan sosiologi lewat struktur sosial. Sejarah bersifat deskrifif-naratif
sedangkan sosiologi bersifat analitis. Keduanya dapat juga bersifat kualitatif
dan kuantitatif, tetapi keduanya juga cenderung bersifat kualitatif. Hubungan
antar berbagai gejala ditentukan oleh hubungan kausalitas dapat dirumuskan
dengan menggunakan interpretasi atau daya taksir. Dari serangkaian ciri-ciri
ilmu sosial humaniora itu jelas bahwa ia bertendesi subjektif.
Menurut
aliran AS, ilmu sosial menempati posisi antara ilmu alam dan humniora yang
menunjukkan bahwa tindakan dan kelakuan manusi berlaku teratur dan ajeg. Ia
mengamati pola, struktur, lembaga dan kecenderungan dan hukum-hukum seperti
ilmu alam. Ternyata pengaruh ilmu sosial kuat sekali terhadap sejarah dan
terjadi pendekatan (rapproa-chement). Jadi, ilmu sejarah lebih dekat
dengan ilmu sosial daripada ilmu sastra (Sartono Kartodirdjo, 1992: 126-130).
0 komentar:
Posting Komentar